Bagi masyarakat Blimbing, memelihara warisan leluhur mengenang Singo
Ulung direfleksikan dengan bentuk tarian Tradisi Singo Ulung. Tradisi
ini dilakukan bersama upacara adat setiap tanggal 15 Sya’ban, yaitu kala
purnama di langit, menjelang bulan Ramadan. Masyarakat Blimbing sendiri
sangat antusias dalam menyambut tradisi tahunan itu. Mereka menganggap
sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyangnya yang dibanggakan
itu.
Tak heran jika masyarakat dengan suka cita dan rela mengorbankan apa
saja yang diminta, mulai dari berbagai jenis bumbu masakan sampai kepada
uang. Masakan yang biasa disediakan adalah ayam bakar, tape bakar, tape
ketan putih, daging, dan sebagian dari tubuh hewan berupa teli- nga,
bibir, dan lidah. Selain itu juga segelas kopi, nasi kuning dan
kemenyan. Semuanya itu diletakkan dalam wadah yang disebut dengan
“ancak”.
Dalam refleksi tarian Singo Ulung, biasanya dilakukan dua orang, satu
di depan untuk menggerakkan kepala Singo Ulung dan satu lagi di
belakang sebagai kaki. Dengan iringan gamelan khas Blimbing, penampilan
Singo Ulung sangat apresiatif dan atraktif.
Pementasannya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu
pementasan Singo Ulung dalam upacara bersih desa dan pementasan Singo
Ulung sebagai tontonan untuk umum. Pementasan Singo Ulung untuk bersih
desa dilakukan dengan persyaratan pementasan harus dilakukan di tempat
berlangsungnya upacara. Selain itu juga, waktunya harus tepat pada
tanggal 15 Syaban. Demikian juga sesa- jennya harus lengkap, berupa nasi
tumpeng, nasi rasul, biddenggulu, lembur/degan, dudul, tetel jenang
panca warna, dan ikan 9 macam. Untuk pementasan tontonan umum tidak
perlu persyaratan khusus, seperti tempat, waktu dan macam makanan yang
disajikan [::]
Siip!
BalasHapusI like this linda!.....